25 Ogos 2008

Islam dan Kemerdekaan

Oleh AHMAD SAHIDIN ”Sudahkah kita merdeka?” tanya seorang teman. ”Merdeka dari apa? Bukankah penjajah sudah pergi dari negeri kita? Merdeka dari jajahan apa?” jawab saya balik tanya. Teman saya waktu itu diam. Saya bilang padanya, ”Tentunya bukan merdeka dari jajahan fisik dan upaya mempertahankan bangsa, tapi merdeka dalam erti luas”. Jadi apa itu merdeka? Kata merdeka merupakan istilah yang seringkali dekat dengan kebebasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga Departemenen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, merdeka memiliki beberapa arti, yaitu bebas; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Jadi, merdeka tidak hanya berkaitan dengan pembebasan dari penjajahan bangsa, tapi bisa juga berkaitan dengan diri sendiri. Yakni memerdekakan diri dari segala bentuk ”jajahan” atau hal-hal yang membelenggu diri. Rasulullah SAW menyebutkan, musuh yang paling besar dan berat untuk dihadapi adalah melawan hawa nafsu. Jadi, mereka yang bisa mengendalikan hawa nafsu bisa disebut manusia yang merdeka, bebas dari belenggu hawa nafsu. Inilah sosok merdeka. Islam membebaskan Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan risalah sempurna. Selain memperbaiki dan menyempurnakan ajaran-ajaran yang dibawa para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, juga dalam rangka membebaskan manusia dari kebodohan menuju masyarakat cerdas dan bermartabat. Masyarakat Mekkah yang masih berperilaku tidak bermoral diubah dengan ajaran Islam menjadi berakhlak mulia dan berperdaban. Sehingga dengan hadirnya Rasulullah SAW masyarakat Arab dan Persia yang dulunya terbelakang menjadi terkenal, dan hingga sekarang pun masih tercatat kejayaannya dalam sejarah dunia. Peradaban Islam yang muncul dengan berbagai khazanah intelektual, monumen-monumen megah, dan warisan ilmu pengetahun yang tiada duanya, menjadi sumbangan besar untuk perkembangan dan kemajuan dunia sekarang. Sumber yang membebaskan dan mencerahkan itu tiada lain adalah ajaran Islam yang terdapat dalam al-Quran dan penuturan hikmah dari Rasulullah SAW. Tanpa berpegang pada kedua sumber tadi, Islam hanya namanya saja. Seperti masa sekarang ini, Indonesia hanya terkenal dengan kuantitas (jumlah), namun belum berkualitas atau menjadi solusi atas pelbagai masalah bangsa. Bebas dari hak dhuafa Seharusnya umat Islam Indonesia mulai berpikir untuk menjadi solusi, bukan menambah masalah. Persoalan ekonomi dan himpitan beban hidup kadang menjadi persoalan yang tidak pernah selesai dengan sebuah seminar atau konferensi. Tapi butuh aksi dan tindakan nyata dalam bentuk program-program yang membangkitkan hajat hidup orang banyak. Namun langkah tersebut membutuhkan sokongan material yang tidak sedikit. Sebagian masyarakat Islam di Indonesia, bila diteliti sebetulnya berada dalam garis kecukupan dan kemapanan ekonomi. Tengok saja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengusaha-pengusaha yang memiliki beberapa perusahaan atau bisnis itu rata-rata mengaku beragama Islam. Tidak dipungkiri juga yang miskin pun beragama Islam. Ironis, identias yang sama, namun saling bertolakbelakang. Tidak menjadi satu kesatuan merajut masyarakat yang bermartabat, makmur, sejahtera dan berkah. Tampak tak ada kesadaran untuk membantu saudaranya yang dhu`afa. Bila tidak tindakan alias kepedulian yang nyata, maka umat Islam tak bisa disebut merdeka. Umat Islam tersebut masih dijajah dengan kekikiran (bakhil), kerakusan, dan cinta dunia. Mereka tidak menyadari bahwa pada harta atau rezekinya terdapat hak-hak orang-orang dhuafa dan fakir miskin. Allah berfirman, ”Dan di dalam harta mereka ada hak orang-orang yang meminta dan yang tidak meminta (Q.Q. Al-Dzariyat; 19); Dan orang-orang yang di dalam hartanya ada hak yang sudah maklum, untuk peminta-minta dan yang tidak meminta-minta (Q.S. Al-Maarij: 24, 25)”. Jelas, berbagi rezeki dalam bentuk ibadah maal (zakat, infak, shodaqoh) dengan yang berhak menerimanya merupakan perintah Allah. Jika tidak ditunaikan, maka pemilik harta tersebut terkena azab Allah. Harus disadari bahwa Allah menjadikan dalam harta para orang kaya ada hak orang dhuafa dan fakir miskin ini semata-mata demi terwujudnya masyarakat makmur, sejahtera, dan munculnya rasa empathi terhadap sesama. Andai saja harta atau rezeki tetap terkungkung dan hanya berputar pada orang kaya semata, maka akan berakibat malapetaka berupa tindakan kejahatan sosial dan perampokan. Hadirnya orang-orang miskin dan dhuafa sendiri dalam al-Quran di dunia ini untuk mendapatkan karunia Allah melalui orang-orang dermawan. “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi” (QS.Al-Qasas [28]:5). Jangan bakhil Ketidakpedulian atau enggan berbagi rezeki merupakan sifak bakhil. Sifat atau karakter ini merupakan buah dari cinta dunia dan akhlak yang tercela. Ketercelaan sifat bakhil disebutkan di dalam Al-Quran, “(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka” (QS.An-Nisa: 36); Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat” (QS.Ali-Imran: 180)”. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW mengingatkan, “Takutlah kalian terhadap sifat bakhil, karena sifat ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Membawa mereka pada pertumpahan darah, dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan.” Dengan berbagi, peduli, dan menunaikan hak-hak dhu`afa yang besarnya tak seberapa dibanding denga kebutuhan hidup harian kita, berarti kita menjadi manusia merdeka. Mari bebaskan diri kita dari hak dhuafa!

Tiada ulasan:

Catat Ulasan